Allah Ta’ala berfirman,
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 21)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Semua yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang berisi perintah untuk beribadah, maka maknanya adalah perintah untuk bertauhid.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya, Ma’alim At-Tanzil, hal. 20)
Makna ‘mudah-mudahan kalian bertakwa’ ialah ‘supaya kalian selamat dari azab’. Demikian sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya (hal. 20).
Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan beberapa penafsiran ulama salaf terhadap kalimat ‘mudah-mudahan kalian bertakwa’. Di antaranya:
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan maksudnya adalah ‘mudah-mudahan kalian menjaga diri dari syirik’.
Adapun Adh-Dhahhak rahimahullah menerangkan bahwa maksudnya adalah ‘mudah-mudahan kalian menjaga diri dari api neraka’.
Mujahid rahimahullah menafsirkan bahwa maksudnya adalah ‘mudah-mudahan kalian taat kepada-Nya’. (lihat Zaadul Masiir fi ‘Ilmi At-Tafsir, hal. 48)
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Maksud ‘mudah-mudahan kalian bertakwa’ ialah supaya kalian mencapai derajat yang tinggi ini yaitu ketakwaan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hakikat takwa itu adalah mengambil perlindungan dari azab Allah dengan cara melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.” (Ahkam minal Qur’an, hal. 106)
Ayat di atas (QS. Al-Baqarah : 21) juga memberikan faedah kepada kita bahwasanya ibadah merupakan kewajiban seluruh umat manusia. Semua orang wajib untuk tunduk beribadah (bertauhid) kepada Allah Ta’ala. Ibadah itu pun harus ditegakkan di atas dua asas: (1) ikhlas kepada Allah Ta’ala; dan (2) sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat Ahkam minal Qur’an, hal. 106)
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah Ta’ala adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula, akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi (kehidupan) dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati dan badan, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Maka, segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, hal. 18)
Ibadah kepada Allah ditegakkan di atas tauhid. Setiap ibadah yang tidak disertai dengan tauhid, maka itu bukanlah ibadah. Semua ibadah yang tidak tegak di atas tauhid, maka itu adalah batil (sia-sia). Ibadah yang tegak di atas tauhid ini adalah ibadah yang ditujukan kepada Allah semata dan menjauhi segala sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu, ibadah kepada Allah pun tidak diterima tanpa sikap berlepas diri dari thaghut (sesembahan selain Allah). (lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1/26-27)
Amal yang diterima
Syekh As-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini (ikhlas dan mengikuti tuntunan) atau salah satunya, maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala,
وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا
‘Dan Kami hadapkan segala amal yang telah mereka perbuat, kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan : 23).” (lihat Bahjah Al-Qulub Al-Abrar, hal. 14 cet. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar, kecuali dengan dua syarat: ikhlas kepada Allah ‘Azza Wajalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61).
Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat Muhammad rasulullah bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau salat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu, (amal yang) sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak amal tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan salat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan, akan tetapi tanpa keikhlasan, maka tidak ada faedah pada amalnya itu. Karena itulah, dibutuhkan keikhlasan …” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena Islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka, barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah, sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itulah, pokok ajaran Islam adalah syahadat laa ilaha illallah, dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ
“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
Orang yang ikhlas akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan (yang pada umumnya terasa memberatkan). Hal ini karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan pahala dari Allah Ta’ala. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya. (lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 17)
Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang berlipat ganda. (lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 19)
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Amal-amal itu sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang berlipat-lipat tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati orang yang melakukannya …” (Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 17)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita orang yang ikhlas.
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81257-pentingnya-tauhid-dan-keikhlasan.html
0 Komentar