Jibril Radio - Mengais rezeki yang halal bukan sekadar kebutuhan duniawi, tapi juga ibadah yang dijunjung tinggi dalam Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat orang yang bekerja keras entah sebagai pedagang kaki lima, buruh bangunan, ojol, atau pekerja serabutan lainnya, namun tak jarang mereka justru mendapat hinaan atau pandangan sebelah mata. Padahal, dalam Islam, mencari rezeki halal adalah perintah yang sangat mulia, bahkan bagian dari sunnah Nabi dan wujud dari keimanan kepada Allah.
Islam Menghargai Setiap Usaha yang Halal
Imam Sahl At-Tusturi rahimahullah berkata:
“Siapapun yang menghujat tindakan bekerja berusaha mengais rezeki, maka dia telah mencela sunnah. Siapapun yang mengumpat sikap tawakal maka ia mencela keimanan.”
(Jaami’ul Ulum Wal Hikam 2/501)
Ucapan ini begitu dalam maknanya. Seseorang yang meremehkan usaha orang lain dalam mencari nafkah berarti telah merendahkan perintah Rasul dan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Rasulullah ï·º sendiri adalah seorang pedagang sebelum diangkat menjadi Nabi. Beliau berdagang dengan jujur, amanah, dan beretika, bahkan dikenal luas oleh masyarakat Mekkah karena integritasnya. Ini menandakan bahwa bekerja, apalagi untuk menghidupi diri dan keluarga, adalah jalan mulia yang tak boleh diremehkan.
Bekerja adalah Ibadah, Bukan Sekadar Cari Uang
Banyak orang memandang kerja hanya sebagai urusan duniawi. Tapi dalam Islam, bekerja—selama niatnya benar dan jalannya halal—bisa menjadi ladang pahala.
Nabi Muhammad ï·º bersabda:
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”
(HR. Bukhari no. 2072)
Hadits ini menjelaskan bahwa penghasilan dari kerja sendiri adalah yang paling baik. Bahkan seorang nabi seperti Nabi Daud alaihis salam pun tidak bergantung pada orang lain. Maka, menghina pekerjaan orang lain meskipun terlihat sederhana atau kasar adalah bentuk ketidaktahuan terhadap nilai ibadah yang ada di baliknya.
Tawakal Itu Bekerja dan Bertawakal, Bukan Diam
Sebagian orang berpikir bahwa bertawakal berarti menyerahkan segalanya pada Allah tanpa usaha. Ini keliru. Islam mengajarkan bahwa tawakal sejati adalah melakukan ikhtiar sebaik-baiknya, lalu menyerahkan hasilnya pada Allah.
Diriwayatkan dalam hadits:
"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, yang pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."
(HR. Tirmidzi no. 2344)
Burung saja keluar sarangnya untuk mencari makan. Ia tidak hanya diam di tempat menunggu rezeki datang. Maka manusia lebih-lebih lagi harus berusaha dengan cara yang halal.
Menghujat Adalah Perilaku yang Tidak Terpuji
Menghina orang yang sedang berusaha menafkahi dirinya atau keluarganya adalah perilaku yang tidak dibenarkan. Dalam Islam, menjaga lisan adalah bagian dari keimanan.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, daripada mengomentari negatif kerja keras orang lain, lebih baik kita diam atau bahkan memberi dukungan. Siapa tahu, mereka justru lebih mulia di sisi Allah karena ketulusannya mencari nafkah yang halal.
Jangan Pandang Profesi, Tapi Niat dan Usahanya
Seringkali orang memandang rendah pekerjaan seperti tukang sapu, pemulung, atau pengamen. Namun, bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah dibanding orang yang berpenampilan rapi namun penghasilannya dari yang haram.
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Rezeki yang berkah bukan tentang jumlah, tapi tentang kehalalan dan ridha Allah. Maka dari itu, mari kita jaga sikap, jangan menjadi orang yang mencela profesi orang lain hanya karena kita merasa lebih tinggi.
Menguatkan Sesama, Bukan Menjatuhkan
Kita hidup di dunia ini saling bergantung satu sama lain. Tukang sayur, kurir, pedagang kaki lima, dan pekerja kasar—mereka semua punya peran dalam roda kehidupan.
Bayangkan jika semua orang hanya ingin bekerja di kantor dan tak ada yang mau menjadi tukang bersih-bersih, sopir, atau buruh. Tentu kehidupan jadi tak berjalan dengan seimbang.
Maka, salah satu bentuk keimanan adalah menghargai kerja keras saudara kita, mendoakan mereka, bahkan membantu semampunya jika kita bisa.
Mengais rezeki yang halal adalah bagian dari sunnah dan wujud nyata dari tawakal kepada Allah. Meremehkan, menghina, atau menghujat orang yang bekerja keras bukan hanya perilaku tidak etis, tetapi juga bisa termasuk mencela ajaran Islam itu sendiri. Sebagai seorang Muslim, kita diajarkan untuk menghormati setiap usaha yang halal, memberi dukungan pada sesama, dan menjaga lisan dari komentar yang menyakitkan.
Mari kita tumbuhkan budaya saling menghargai, bukan menghujat. Dukung mereka yang sedang berjuang menafkahi diri dan keluarganya dengan jalan yang halal. Karena bisa jadi, dari pekerjaan yang tampak kecil itu, Allah limpahkan keberkahan besar.
0 Komentar