Akhlak Saat Bekerja: Kenapa Ada Perselingkuhan di Tempat Kerja?

Akhlak Saat Bekerja

Jibril Radio - Setiap pagi, jutaan manusia terbangun oleh dering alarm. Dengan mata yang masih berat, kita bergegas mengambil wudhu (bagi yang menjaganya), lalu bersiap mengenakan pakaian terbaik. Kita berpamitan kepada pasangan dan anak-anak, melangkahkan kaki keluar rumah dengan satu tujuan mulia: menjemput rezeki Allah.

Di permukaan, rutinitas ini tampak begitu heroik. Seorang ayah yang membanting tulang demi sesuap nasi, atau seorang pemuda yang berjuang membantu ekonomi orang tua. Namun, mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada hati kecil kita: Apakah lingkungan tempat kita menghabiskan 8 hingga 10 jam setiap hari itu aman bagi iman kita?

Seringkali, kita merasa aman hanya karena kita "sedang bekerja". Padahal, kantor, pasar, atau instansi tempat kita mengabdi bisa berubah menjadi ladang ranjau dosa yang mematikan. Mulai dari korupsi waktu yang dianggap remeh, hilangnya rasa malu dalam bergaul dengan lawan jenis, hingga niat yang tergelincir dari lillah (karena Allah) menjadi li-annas (karena ingin dipuji manusia).

Dalam sebuah kajian tematik yang sangat tajam dan relevan bertajuk "Akhlak Saat Bekerja", guru kita, Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A., membedah realita pahit dunia kerja kontemporer. Beliau tidak hanya berbicara tentang etos kerja, tetapi menusuk langsung ke jantung permasalahan: bagaimana seorang Muslim menjaga tauhid dan akhlaknya di tengah gempuran fitnah dunia kerja.

Berikut adalah uraian mengenai urgensi akhlak dalam bekerja yang kami sarikan untuk Anda.

Meluruskan Niat (Antara Ibadah dan Kesombongan)

Fondasi dari segala amal adalah niat. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: Innamal a’malu bin niyyat...” (Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya).

Bekerja dalam Islam bukanlah aktivitas sekuler yang terpisah dari agama. Ia adalah ibadah ghairu mahdhah yang bernilai pahala jihad jika niatnya benar. Ustadz Syafiq mengingatkan kita bahwa banyak orang lelah bekerja, pergi pagi pulang petang, namun di sisi Allah nilainya nol besar, atau bahkan minus (berdosa). Mengapa? Karena niatnya salah.

Ada yang bekerja keras hanya untuk menumpuk harta agar bisa sombong di hadapan kerabat. Ada yang mengejar jabatan demi status sosial agar disegani tetangga.
Allah berfirman dalam QS. At-Takatsur: 1-2:

أَلْهُكُمُ التَّكَاثُرُ (١)حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ (٢)
  "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur."

Ketika tujuan bekerja adalah untuk at-takatsur (berbanyak-banyakan harta) dan al-fakhru (berbangga-bangga), maka pekerjaan itu telah menjadi berhala baru. Sebaliknya, seorang Muslim yang cerdas akan meniatkan pekerjaannya untuk tiga hal mulia:

  1. Menjaga kehormatan diri (Iffah) agar tidak menjadi beban orang lain atau meminta-minta.

  2. Menafkahi keluarga yang merupakan kewajiban qawwam bagi laki-laki.

  3. Memberi manfaat bagi umat dan bersedekah di jalan Allah.

Jika niat ini tertanam kuat, maka setiap tetes keringat, setiap lelah yang dirasakan saat macet di jalan, dan setiap tekanan pekerjaan, akan dicatat oleh malaikat sebagai pemberat timbangan kebaikan di Yaumul Hisab.

Profesionalisme Muslim adalah "Itqan" dan "Muraqabah"

Di dunia korporat, kita mengenal istilah KPI (Key Performance Indicator) dan profesionalisme. Namun, seringkali standar profesionalisme ini hanya bersifat transaksional: "Asal bos senang, asal laporan beres."

Ustadz Syafiq menekankan bahwa standar kerja seorang Muslim jauh melampaui itu. Islam mengenal istilah Itqan. Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia menyempurnakan pekerjaannya (itqan)." (HR. Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani).

Itqan berarti bekerja tuntas, rapi, dan berkualitas tinggi, bukan karena diawasi CCTV atau atasan, melainkan karena kesadaran Muraqabah (merasa diawasi oleh Allah).

Betapa banyak karyawan Muslim yang shalatnya rajin, tapi etos kerjanya buruk. Datang terlambat, pulang lebih awal, menunda-nunda pekerjaan, atau menggunakan jam kerja untuk urusan pribadi (seperti main game atau scrolling media sosial berjam-jam). Ini adalah bentuk khianat terhadap akad kerja. Gaji yang kita terima dihitung berdasarkan waktu yang kita jual kepada perusahaan. Jika kita mengurangi takaran waktu tersebut, bukankah kita termasuk golongan Al-Mutaffifin (orang-orang yang curang dalam takaran)?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (QS. Al-Mutaffifin: 1-3).

Ayat ini tidak hanya berlaku bagi pedagang di pasar, tapi juga bagi karyawan yang menuntut gaji penuh (takaran penuh) namun memberikan kinerja yang kurang (mengurangi takaran). Akhlak bekerja menuntut kejujuran total. Integritas inilah yang seharusnya menjadi ciri khas pekerja Muslim, sehingga kehadiran kita di kantor menjadi cahaya, bukan beban.

Waspada Bahaya Latent "Cinlok" dan Ikhtilat

Poin ini adalah pembahasan yang paling menohok dan krusial dalam kajian Ustadz Syafiq. Kantor adalah salah satu tempat terbesar terjadinya fitnah syahwat. Mengapa? Karena di sanalah laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berkumpul dalam waktu yang lama, berinteraksi intens, dan seringkali dalam kondisi khalwat (berduaan) atas nama "tugas".

Banyak perselingkuhan (cinlok) tidak bermula dari niat jahat. Ia bermula dari hal-hal yang dianggap sepele: curhat masalah pekerjaan saat makan siang, saling memberi tumpangan pulang, atau chatting di luar jam kerja yang awalnya membahas proyek namun lama-lama melebar ke ranah pribadi. Setan sangat halus dalam membungkus maksiat ini dengan label "rekan kerja yang suportif".

Allah Ta’ala berfirman dengan tegas:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).

Perhatikan diksinya: Jangan mendekati. Allah tidak hanya melarang berzina, tapi melarang segala pintu yang menuju ke sana. Di kantor, "mendekati zina" itu bisa berwujud candaan yang menyerempet bahaya, pandangan yang tidak dijaga (ghadhul bashar), atau campur baur (ikhtilat) yang tanpa batas.

Ustadz Syafiq mengingatkan dengan keras: Jangan merasa diri suci. Nabi Yusuf ‘alaihissalam saja, seorang Nabi yang mulia, berdoa meminta perlindungan Allah dari fitnah wanita. Apalah lagi kita yang imannya naik turun? "Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf: 33).

Bagi Anda yang bekerja di lingkungan yang campur baur, Anda sedang berjalan di tepi jurang. Solusinya?

  1. Jaga pandangan. Bicara seperlunya tanpa menatap lawan jenis secara berlebihan.

  2. Hindari Khalwat. Jangan pernah mau ditugaskan berduaan di ruang tertutup atau dinas luar kota hanya berdua dengan lawan jenis. Ini adalah pintu setan yang paling lebar.

  3. Profesional yang Kaku itu Perlu. Lebih baik dianggap kaku dan "nggak asik" oleh rekan kerja, daripada dianggap "asik" tapi merusak rumah tangga sendiri dan mengundang murka Allah.

Rezeki Berkah vs Rezeki Banyak

Orientasi akhir dari pekerjaan kita seringkali hanyalah angka nominal. Kita terobsesi dengan take home pay yang besar. Namun, Ustadz Syafiq mengajak kita merenung: Apa gunanya gaji besar jika tidak berkah?

Rezeki yang berkah adalah rezeki yang membawa ketenangan, yang cukup untuk kebutuhan, yang membuat anak istri sehat dan saleh, serta memudahkan kita beribadah. Sebaliknya, rezeki yang didapat dengan cara yang haram (menipu, menjilat, korupsi) atau didapat di lingkungan yang penuh maksiat, seringkali "panas". Uang itu mungkin banyak, tapi cepat habis untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, atau justru menjadi bahan bakar masalah dalam rumah tangga.

Rasulullah ﷺ bersabda: "Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati hingga ia benar-benar telah menyempurnakan rezekinya..." (HR. Ibnu Majah).

Rezeki kita sudah tertakar, tidak akan tertukar, dan tidak akan meleset. Maka, jangan sampai ketidaksabaran kita membuat kita menempuh jalan haram (sogok-menyogok, manipulasi data, atau melanggar syariat) demi mempercepat rezeki itu datang. Apa yang ditakdirkan untuk kita pasti sampai, pertanyaannya adalah: Lewat jalan halal atau haram kita mengambilnya?

Menjadi Rekan Kerja yang Menyejukkan

Akhlak bekerja juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama rekan. Islam melarang keras sifat Hasad (dengki) dan Namimah (adu domba). Dunia kerja penuh dengan persaingan karir. Seringkali, untuk naik jabatan, seseorang merasa perlu menjatuhkan temannya.

Rasulullah ﷺ mengingatkan: "Hati-hatilah kalian dari hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." (HR. Abu Daud).

Jika ada rekan kerja yang mendapat promosi, ucapkan Barakallah. Yakini bahwa itu rezeki dia yang Allah tetapkan. Jangan menyebar gosip (Ghibah) di pantry kantor. Jadilah rekan kerja yang jika kita tidak ada, orang merasa kehilangan karena kebaikan dan bantuan kita. Bukan sebaliknya, orang bersyukur saat kita cuti karena terbebas dari gangguan lisan kita.

Membawa Surga ke Meja Kerja

Kesimpulan dari kajian berharga ini adalah sebuah ajakan untuk Hijrah di tempat kerja. Hijrah tidak selalu berarti resign (keluar) dari pekerjaan—kecuali jika pekerjaan itu zatnya haram (seperti di tempat ribawi, khamr, atau judi). Hijrah di sini berarti mengubah cara pandang dan perilaku kita.

Jadikan meja kerja kita sebagai sajadah panjang tempat kita mendulang pahala. Jadikan komputer dan alat kerja kita sebagai saksi bisu di Yaumul Mahsyar bahwa kita menggunakannya untuk kebaikan, bukan maksiat. Jadikan interaksi kita dengan rekan kerja sebagai sarana dakwah bil hal (dengan perbuatan), menunjukkan indahnya akhlak Islam.

Ingatlah, lelahnya bekerja akan hilang sesaat setelah kita merebahkan badan di kasur, atau paling lambat saat kita masuk ke liang lahat. Namun, catatan amal dari cara kita bekerja akan kekal selamanya. Jangan tukar surga yang abadi dengan kenikmatan karir yang semu.

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk menjadi pekerja yang Qawiyyun Amin (Kuat lagi Terpercaya), melindungi kita dari fitnah wanita dan harta, serta memberkahi setiap rupiah yang kita bawa pulang untuk keluarga.

Wallahu a’lam bish-shawab.

__________________________________________ 

Penulis: Tim JibrilRadio.com
Subscribe: https://www.youtube.com/@JibrilRadio
Yuk Support Operational Jibril Radio: BSI 717 925 7437
Konfirmasi: Email: jibrilradio@gmail.com 

Sumber: Kajian Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.
https://www.youtube.com/watch?v=rgsxmH6y8Us


0 Komentar